Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan yang meminta agar frasa “TNI/Polri” dan “pejabat daerah” dimasukkan dalam Pasal 188 Undang-Undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015.
Putusan ini menjadikan anggota TNI-Polri yang terbukti terlibat politik atau mendukung salah satu pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada dapat dikenakan pidana penjara.
Ketua MK Suhartoyo menyatakan, “Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” dalam persidangan pada Kamis (14/11/2024).
Dengan keputusan ini, anggota TNI-Polri dan pejabat daerah kini memiliki status hukum yang sama dalam hal keterlibatan politik pada Pilkada, sebagaimana pejabat negara, ASN, atau kepala desa.
Sebelumnya, Pasal 188 UU Pilkada hanya mencantumkan pejabat negara, ASN, dan kepala desa sebagai pihak yang dikenakan sanksi jika melanggar Pasal 71 UU Pilkada.
Sanksi tersebut berupa pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 6 bulan, serta denda minimal Rp 600.000 hingga maksimal Rp 6 juta. Dengan putusan MK ini, TNI-Polri dan pejabat daerah kini masuk dalam subjek hukum yang dapat dijatuhi hukuman tersebut.
Menurut Suhartoyo, “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, anggota TNI-Polri, atau kepala desa yang melanggar Pasal 71 dapat dipidana penjara 1 hingga 6 bulan dan/atau denda Rp 600.000 hingga Rp 6 juta.
Keputusan ini dianggap memperkuat prinsip netralitas, terutama bagi TNI-Polri yang wajib menjaga posisi non-partisan dalam politik.
Polda Metro Jaya dan lembaga terkait diperkirakan akan bekerja sama untuk memastikan sanksi diterapkan dengan efektif, terutama jelang Pilkada serentak di berbagai daerah.
Pengesahan frasa baru dalam UU Pilkada diharapkan menekan kemungkinan keterlibatan institusi atau pejabat yang seharusnya netral dalam proses politik, menambah kredibilitas proses Pilkada di Indonesia.