Tangerang Kota – Perkawinan anak merampas hak-hak anak saat usianya masih belia. Hak untuk pendidikan, bermain, dan hak anak lainnya terabaikan.
DP3AP2KB Kota Tangerang terus berupaya mencegah perkawinan anak melalui sosialisasi dan edukasi massif.
Kepala Puspaga Kota Tangerang, Sri Damayanti, menjelaskan perkawinan anak tidak sah menurut hukum.
Ini menghambat kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Pernikahan memerlukan kesiapan fisik, psikis, dan ekonomi.
Anak-anak di bawah 18 tahun akan menghadapi kesulitan besar. Masalah ini juga terkait perlindungan anak dan diskriminasi gender.
Perkawinan anak kerap dianggap sebagai pernikahan paksa, terutama bagi anak perempuan.
“Perempuan sering mengalami diskriminasi gender dengan batas usia 16 tahun,” jelas Sri. “Ini membentuk diskriminasi terhadap anak perempuan. Perkawinan usia anak lebih dikenal sebagai pernikahan paksa.”
Kasus seperti ini sering membuat anak perempuan menjadi korban. Mereka dituntut menikah karena alasan ekonomi.
Dampak reproduksi, mental, dan kekerasan paling banyak dirasakan oleh anak perempuan.
Sri menambahkan, dampak ekonomi dari perkawinan anak merugikan negara. Angka kematian dan komplikasi kehamilan tinggi pada anak perempuan berusia 15-19 tahun. Ibu muda rentan mengalami kerusakan organ reproduksi.
“Pendidikan anak perempuan yang menikah sebelum 18 tahun lebih rentan tidak selesai. Mereka empat kali lebih rentan tidak menyelesaikan pendidikan menengah,” jelasnya. ”
Perempuan yang menikah muda juga lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.”
“Angka kematian bayi lebih tinggi jika ibu di bawah 20 tahun. Peluang kematian bayi sebelum usia 28 hari lebih besar 1,5 kali dibandingkan ibu berusia 20-30 tahun,” tambahnya.
Masyarakat dapat memanfaatkan layanan psikologi gratis dari Puspaga Kota Tangerang.
Kunjungi Gedung Cisadane Lantai 2, Jalan KS Tubun 1, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, atau hubungi call center di 0896-0200-4040.